Secara umum, pernikahan adat Bali disebut sebagai dengan “pawiwahan”. Proses pernikahan adat Bali berpedoman pada aturan Kitab Weda dan hukum Hindu yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan mengikuti kedua aturan tersebut, pasangan pengantin pun diyakini akan mendapatkan kebahagiaan di dunia (Jagaditha) serta kebahagiaan yang abadi (Moksa).
Menentukan Hari Baik
Pemilihan hari baik tersebut disesuaikan dengan kalender agama Hindu. Hari baik tersebut dipilih mulai dari calon mempelai pria datang untuk nyedek (memberitahukan) dan hari melangsungkan pernikahan sesuai hari yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga calon pengantin. Pemilihan hari baik ini bertujuan untuk mendapatkan kelancaran dan keberkahan sehingga pelaksanaan pernikahan dapat menjadikan kedua calon pengantin menjadi pasangan suami istri yang bahagia.
Ngekeb
Ngekeb bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita. Dilakukan dengan memandikan dan mencuci rambut mempelai wanita dengan luluran khusus yang terbuat dari campuran daun merak, bunga kenanga, kunyit, dan beras yang telah dihaluskan. Luluran ini kemudian akan dibalurkan ke sekujur tubuh mempelai wanita pada sore hari.
Setelah itu, mempelai wanita masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah disediakan sesajen dan tidak diperbolehkan keluar sampai mempelai pria menjemputnya. Ketika mempelai pria sudah tiba di kamar pengantin, sang wanita wajib ditutupi dengan selembar kain tipis berwarna kuning dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kain yang dikenakan mengandung filosofi bahwa calon mempelai wanita telah siap untuk meninggalkan masa lajangnya, mengubur masa lalunya untuk proses menyongsong kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga. Ngekeb dilakukan untuk mempersiapkan mental calon pengantin dan sebagai kesempatan berdoa kepada kepada Ida Sang Hyang Widi agar dianugrahkan kebahagiaan lahir batin.
Ngungkab lawang
Ngungkab lawang berarti membuka pintu. Hal ini dilakukan dengan cara menjemput calon pengantin wanita oleh pria dan mereka dipertemukan untuk menjalani sembilan rangkaian acara meliputi Pejati dan Suci Alit, Peras pengambean, Caru ayam brumbun asoroh, Bayekawonan, Prayascita, Pangulapan, Segehan Panca Warna, Segehan seliwang Atanding, dan Segehan Agung.
Namun, sebelum melakoni kesembilan rangkaian itu, pengantin pria harus mengucapkan syair weda dan dibalas dengan syair weda dari pengantin wanita lalu melemparkan daun betel atau daun sirih. Pelemparan ini bertujuan untuk menolak kekuatan jahat yang mungkin akan datang selama prosesi pernikahan berlangsung.
Selanjutnya, calon mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria tanpa dikuti oleh keluarga perempuan, dengan cara digendong dan dibawa menggunakan tandu.
Mesegeh Agung
Sebelum memasuki pekarangan rumah mempelai pria, kedua calon pengantin harus menghadapi prosesi mesegeh Agung. Kain kuning yang menutupi tubuh mempelai wanita pun akan dibuka oleh calon ibu mertuanya. Kemudian, ditukar dengan uang kepeng satakan, pertanda menyambut dunia baru dan mengubur segala masa lalu, dan sebagai ungkapan selamat datang pada mempelai wanita.
Medengen-dengenan (Mekala-kalaan)
Upacara dalam pernikahan adat Bali ini bertujuan untuk membersihkan diri kedua mempelai. Sejumlah prosesi yang terdapat dalam upacara ini, meliputi Menyentuhkan Kaki pada Kala Sepetan, Jual Beli antara mempelai wanita dan pria, Menusuk Tikeh Dadakan yang dilakukan oleh mempelai pria sebagai simbol kekuatan Lingga dan Yoni. dan terakhir Memutuskan Benang yang terentang pada batang pohon dadap yang menganalogikan kedua mempelai siap memasuki dunia baru dengan kehidupan berkeluarga.
Upacara Mewidhi Widana
Umumnya, prosesi mewidhi widana dipimpin oleh seorang pendeta atapun sulinggih, bunyi genta akan mengiringi prosesi ini dilakukan untuk menyempurnakan upacara pernikahan dan membersihkan diri kedua mempelai setelah upacara-upacara sebelumnya.
Kedua calon pengantin akan menuju sanggah atau pura merajan di pekarangan rumah, memberitahukan akan hadirnya keluarga baru kepada para leluhur, serta memohon ijin dan restu agar kehidupan berkeluarga keduanya dilanggengkan dan memiliki keturunan yang baik. Pada upacara ini, kedua mempelai akan memakai pakaian kebesaran pengantin atau bisa juga dengan pakaian adat biasa sesuai kemampuan.
Upacara Mejauman (Ma Pejati)
Upacara Mejauman juga disebut dengan “ngabe tipat bantal” atau membawa tipat bantal. Di beberapa daerah, masyarakat banyak menyebutnya sebagai upacara “meserah”.
Dalam prosesi pernikahan adat Bali ini, wanita yang mengikuti sang suami datang kembali ke keluarga wanita didampingi oleh keluarga besar, kerabat dan tetangga dari keluarga pria.
Dengan melakukan upacara mepamit di sanggah pekarangan atau pun merajan, dan mepamit (mohon ijin meninggalkan) secara niskala kepada leluhur keluarga wanita.
Natab Pawetonan
Ritual natab pawetonan dilakukan di atas tempat tidur dengan cara menyerahkan seserahan berupa barang bernilai, seperti perhiasan dan pakaian oleh mempelai pria kepada ibu dari mempelai wanita.
Barang bernilai yang diserahkan tersebut merupakan simbol “pengganti air susu ibu”. Hal ini melambangkan harapan tugas sang ibu dalam mendidik, membesarkan, dan melindungi anaknya telah selesai dan berpindah kepada calon suami.
Bekal (Tadtadan)
Dalam prosesi pernikahan adat Bali, bekal (tadtadan) dilakukan dengan cara memberikan seperangkat perhiasan atau pakaian ibadah dari ibu kepada anak wanitanya. Upacara ini melambangkan sebuah harapan sang anak akan selalu mengingat jasa-jasa ibunya yang telah berjuang susah payah dalam melahirkannya. Sementara itu, pakaian ibadah yang diberikan merupakan simbol bahwa anak tersebut diharapkan akan terus beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa.
Mejaya-jaya
Upacara ini dilaksanakan setelah pasangan pengantin telah sah menjadi suami istri dan melambangkan harapan agar selalu diberi kemudahan serta bimbingan dari para Sanghyang Pramesti Guru.
Setelah upacara mejaya-jaya, kedua pengantin baru tidak diperbolehkan untuk keluar atau bepergian selama tiga hari berturut-turut. Mereka wajib tinggal di rumah untuk melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Aturan ini diyakini dapat meningkatkan keintiman hubungan kedua mempelai dan agar sang pria bisa banyak memberikan nasihat kepada istrinya.
Selain itu, aturan tersebut juga sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga dari pihak wanita dengan harapan tali kekeluargaan akan terus terjalin erat